Rekayasa Ekologi dengan Refugia untuk Pengelolaan Hama Terpadu pada Tanaman Padi

Padi merupakan komoditas utama tanaman pangan yang banyak dibudidayakan secara skala luas secara monokultur oleh petani. Trend budidaya tanaman padi secara monokultur dan skala luas dalam peningkatan produksi seringkali menjadi faktor pembatas dalam penurunan produksi . Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi pada tanaman padi masih dititik beratkan pada pelaksanaan intensifikasi di lahan sedangkan peningkatan produksi tanaman padi berbasis agroekosistem belum sepenuhnya dilakukan. Adanya input luar guna peningkatan produksi seperti penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang tinggi menyebabkan dampak negatif pada lingkungan (Sattler dkk, 2021) antara lain kerusakan tanah, pencemaran lingkungan, adanya resistensi dan resurjensi hama dan penyakit, kematian musuh alami dan serangga lainnya serta penurunan biodiversitas mikroba tanah (Alker, 2019). Penggunaan pestisida kimia pada budidaya tanaman padi untuk mengendalikan hama dan penyakit meningkat sangat signifikan dalam beberapa dekade. Dampaknya adalah aplikasi pestisida kimia tidak hanya membunuh hama dan penyakit sasaran tetapi juga membunuh musuh alaminya. Aplikasi pestisida secara terus-menerus tidak hanya menyebabkan resistensi hama, tetapi juga terjadinya resurjensi karena matinya musuh alami (Akter et al., 2019)

Pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah sistem pengelolaan hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai secara kompatibel untuk mengurangi populasi hama. Seiring perkembanganya model penerapan PHT berkembang berbasis kearah rekayasa ekologi akibat adanya kerusakan lingkungan guna perbaikan agroekosistem yang ada. Rekayasa ekologi pada tanaman padi menggunakan pendekatan yang berkelanjutan dan berfokus pada ekosistem pertanian. Tujuan utama dari rekayasa ekologi adalah untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi secara alami, mengurangi penggunaan input kimia, dan memperbaiki keberlanjutan ekosistem pertanian. Penerapan PHT berbasis rekayasa ekologi pada tanaman padi merupakan strategi yang tepat guna mengembalikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati pada pertanaman padi. Rekayasa ekologi pada tanaman padi adalah pendekatan holistic yang mempertimbangkan hubungan antara tanaman, tanah, air dan organisme hidup di dalamnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dapat dihasilkan sistem pertanian berkelanjutan dalam jangka Panjang.

Salah satu prinsip PHT adalah pemanfaatan musuh alami yang penerapannya dengan melakukan rekayasa ekologi agar tercipta habitat yang cocok untuk musuh alami melalui keberadaan tanaman refugia seperti rumput-rumputan, bunga-bungaan, dan tanaman lainnya pada agroekosistem padi. Tanaman refugia menjadi elemen penting dalam menjaga keanekaragaman hayati dan memepertahannkan keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman refugia merupakan tindakan untuk konservasi musuh alami karena dapat menyediakan lingkungan yang mendukung musuh alami yaitu sebagai tempat berlindung dan mencari mangsa. rekayasa ekologi untuk pengendalian hama padi sebagian besar berfokus pada tanaman refugia jenis bunga-bungaan atau sayur-sayuran yang ditanam di sekitar sawah.

REKAYASA EKOLOGI

Rekayasa ekologi merupakan sebuah pendekatan untuk mengembalikan atau meningkatkan keanekaragaman hayati dalam agroekosistem baik flora maupun fauna, ( Pilianto, dkk., 2021). Rekayasa ekologi adalah manipulasi habitat yang disengaja untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan. Metode ini sangat berbasis pengetahuan dan memerlukan pemahaman menyeluruh tentang potensi dampak positif dan negatif dari setiap intervensi yang dilakukan oleh praktisi sebelum penerapannya (Horgan, dkk., 2016). Prinsip dan Teknik rekayasa agroekosistem untuk pengelolaan hama terpadu diadopsi untuk memfasilitasi peningkatan literasi ekologi petani padi (Heong, , dkk, 2021). Mitsch (2012) mendefinisikan rekayasa ekologi sebagai desain ekosistem yang berkelanjutan yang mengintegrasikan masyarakat manusia dengan lingkungan alaminya untuk kepentingan keduanya. Karakteristiknya mencakup penggunaan pendekatan kuantitatif, teori ekologi dan manusia sebagai bagian dari proses. Rekayasa ekologi bersifat membangun, memperkuat dan memulihkan layanan ekosistem untuk pengelolaan alam berkelanjutan (Baehaki, dkk., 2016). Gurr (2009) dalam Haryadi (2019) menjelaskan bahwa model rekayasa ekologi dapat dilakukan dengan (a) mengurangi ketergantungan pada input eksternal dan sintetis; (b) menekankan pada proses alami; (c) harus berdasarkan prinsip ekologi.

Pengelolaan hama terpadu berbasis rekayasa ekologi tidak hanya terbatas sebagai teknologi, tetapi berkembang menjadi konsep penyelaesaian masalah dengan lebih menekankan pada proses dan mekanisme ekologi lokal daripada intervensi teknologi (Subiyakto, 2011). sehingga Teknik ini dilakukan dengan cara memprediksi, mendesain, mengkonstruksi dan memanajemen ekosistem menjadi sedemikian rupa agar menguntungkan manusia dan lingkungan alami. Strategi rekayasa ekologi untuk pengelolaan hama terpadu (PHT) melibatkan perancangan dengan mendesain ulang agroekosistem, dan pengelolaan system budidaya padi berdasarkan prinsip ekologi yang memaksimalkan jasa eksosistem alami seperti pengendalian hayati dan meminimalkan masukan eksternal seperti penggunaan pengendali kimia. Prinsip dalam Rekayasa ekologi yaitu membuat teknologi yang dapat menyeimbangkan ekosistem. Salah satunya dengan biodiversitas, dimana biodiversitas merupakan keanekaragaman hayati meliputi variasi gen, jenis dalam suatu ekosistem. Konsep biodiversitas inilah yang dapat digunakan sebagai Pengelolaan Hama Terpadu.

Strategi rekayasa ekologi

Gambar 1. Strategi rekayasa ekologi mampu mengembalikan dan melestarikan keragaman hayati dan jasa lingkungan (Heong et al., 2021)

Penerapan PHT dengan strategi rekayasa ekologi pada tanaman padi dirancang dengan mendesain ulang agroekosistem, mengubah tata Kelola bertanam padi dengan didasarkan pada prinsip-prinsip ekologi (Mudjiono, 2013; Widhasaya, dkk., 2023). Strategi-strategi ini mencakup peningkatan kesesuaian lanskap tanaman melalui diversifikasi vegetasi untuk meningkatkan pengendalian biologis dalam sistem produksi. Diversifikasi tumbuhan cenderung meningkatkan keanekaragaman musuh alami dan membangun ketahanan untuk mengatur peningkatan populasi hama. Keberhasilan dalam managemen rekayasa ekologi cenderung bergantung pada komposisi jarring-jaring makanan. (Haryadi, 2019). Hal tersebut diharapkan bisa memaksimalkan peran jasa lingkungan alami, yaitu berjalannya pengendalian hayati serta berkurangnya penggunaan insektisida yang berdampak negatif pada musuh alami (Gambar 1). Penerapan PHT berbasis Rekayasa ekologi mencakup berbagai tingkat trofik, meningkatkan musuh alami, menekan hama, dan meningkatkan produktivitas tanaman..

Mengurangi penggunaan pestisida di awal tanam padi juga perlu dilakukan. Karena keberadaan musuh alami tinggi di awal tanam. Kerugian ekonomi karena infestasi hama pada awal musim tanam dapat dihindari jika keberadaan musuh alami tidak hilang karena aplikasi insektisida. Hasil penelitian Bottrell (2018) menemukan bahwa dampak aplikasi insektisida di awal tanam terhadap struktur komunitas serangga pada padi menunjukkan bahwa selain hama utama, musuh alami juga ikut mati yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi hama sekunder. Sebagai contoh, ledakan populasi wereng pada padi dapat dicegah oleh keberadaan musuh alaminya dengan menghindari penyemprotan insektisida pada awal tanam, yakni 30 – 40 hari setelah tanam (Way & Heong, 1994).

Teknik rekayasa ekologi dalam pengelolaan hama terpadu padi Meningkatkan kompatibilitas dengan diversifikasi vegetasi.

Sistem produksi pertanian berbasis padi yang diintensifkan merupakan lanskap pertanian monokultur secara terus menerus dengan pola tanam yang sama. Selain itu penggunaan agrokimia seperti pupuk kimia dan pestisida kimia tinggi. Hal ini mengakibatkan melemahnya kontribusi jasa layanan ekosistem musuh alami hama dan seringkali terjadi resistensi dan resurjensi hama. Praktik manipulasi habitat dengan memperkaya keanekaragaman tanaman merupakan komponen penting dalam rekayasa ekologi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jasa layanan ekosistem dalam pengendalian biologi. Strategi tersebut dilakukan dengan menciptakan habitat persawahan yang memiliki keragaman tumbuhan untuk meningkatkan fungsi pengendalian hayati dalam sistem budidaya. Keberadaan jenis bunga-bungaan yang beragam sebagai tanaman refugia pada agroekosistem padi cenderung diikuti oleh munculnya jenis serangga musuh alami yang juga beragam sehingga tercipta sistem yang mampu mengatur populasi hama (Lu et al., 2014; Zhu et al., 2014). Tingkat keragaman tumbuhan yang tinggi akan membantu menyediakan sumber daya yang dibutuhkan musuh alami, meliputi naungan, nektar, polen, serta inang dan mangsa alternatif.

Gambar 2. Contoh rekayasa ekologi pada tanaman padi (Zhu, dkk., 2022)

Penananam Tanaman refugia

Tanaman refugia adalah tanaman yang tumbuh atau dilestarikan dalam suatu area atau lingkungan sebagai bagian upaya pelestarian. Tanaman refugia menjadi elemen penting dalam menjaga keanekaragaman hayati dan memepertahannkan keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman refugia merupakan Tindakan untuk konservasi musuh alami karena dapat menyediakan lingkungan yang mendukung musuh alami yaitu sebagai tempat berlindung dan mencari mangsa. Sistem tanam strip cropping, inter cropping, dan alley cropping adalah menanam tumbuhan berbunga di antara tanaman utama (sistem lorong atau baris) yang berfungsi sebagai tanaman perangkap, atau sebagai sumber pakan musuh alami. Tumbuhan mulsa biasanya ditanam di antara tanaman utama dan merujuk ke sistem tanam inter cropping. Insectary plant dan tumbuhan penutup tanah (cover crop) adalah tumbuhan berbunga yang ditanam bersamaan dengan tanaman budidaya sebagai sumber pakan dan inang alternatif bagi serangga berguna. Beetle banks adalah tumbuhan berbunga atau rumputrumputan yang ditanam di rumah kaca atau rumah plastik sebagai sumber pakan dan inang alternatif bagi musuh alami dan bertujuan untuk menjaga agar populasi hama pada tanaman utama tetap rendah.

Adanya tanaman refugia dapat meningkatkan keanekaragaman hayati di lahan budidaya pertanian sehingga dapat meningkatkan populasi musuh alami. Tanaman refugia dapat mencakup berbagai jenis tanaman berupa tanaman berbunga, gulma maupun tanaman budidaya. Tanaman yang berperan sebagai tanaman refugia memiliki kriteria antara lain : 1) tanaman harus ditanam dari biji tanpa perlu dipindahkan; 2) tanaman harus tumbuh cepat, mampu bersaing dengan gulma dan memerlukan perhatian atau perawatan minimal; 3) tanaman harus berbunga awal; 4) tanaman harus mempunyai buah atau struktur vegetatif yang bernilai bagi petani, baik untuk konsumsi/penggunaan komersial maupun pribadi; 5) tanaman harus mempunyai produksi yang baik dengan pemeliharaan yang minimal; 6) tanaman harus menolak atau sebaliknya tidak menguntungkan bagi serangga hama padi; 7) tanaman harus menarik artropoda yang bermanfaat baik sebagai tempat berlindung atau sumber nektar atau serbuk sari ( Horgan, 2016).

Tanaman yang berpotensi dan yang paling umum digunakan sebagai komponen rekayasa ekologi pada agroekosistem padi adalah wijen (Sesamum indicum), kenikir (Cosmos caudatus) dan bunga pukul delapan (Turnera subulata) yang mampu meningkatkan kelimpahan parasitoid Anagrus spp. (Hymenoptera: Mymaridae) dan Oligosita spp. (Hymenoptera: Trichogrammatidae) untuk pengendalian wereng cokelat (Sinulingga et al., 2019). Ketiga tanaman tersebut mempunyai bunga yang mencolok dan mempunyai warna yang diminati serangga musuh alami. Tanaman yang memiliki warna bunga mencolok atau aroma tertentu dapat menarik kehadiran arthropoda, termasuk predator generalis. Pola ketertarikan arthropoda bisa dipengaruhi oleh warna bunga, aroma, atau kebutuhan nutrisi yang mampu diberikan oleh populasi tanaman berbunga sebagai refugia. Beberapa spesies predator generalis membutuhkan polen sebagai nutrisi tambahan, baik untuk aktivitas berburu mangsa, maupun aktivitas reproduksi. Penanaman refugia di sekitar tanaman padi dapat menarik keberadaan musuh alami, diantaranya berasal dari famili Coccinelidae, Dolichopodidae, Reduviidae dan Oxyopidae (Lailiyah, dkk., 2021).Selain itu, pengaruh populasi tanaman berbunga juga menarik kehadiran serangga yang menjadi mangsa dari predator generalis tersebut, sehingga memudahkan predator generalis mendapatkan mangsa/pakan. Predator generalis yang banyak ditemukan di refugia pertanaman padi yaitu laba-laba (dari kelompok Lycosidae, Oxyopidae, Salticidae, Thomisidae, Tetranigthidae, dan Aranidae), capung (dari kelompok Aeshnidae, Ghompidae, Coenagrionidae), kumbang kubah (Coccinelidae), kumbang botol (Ophionea indica), tomcat (Paederus sp.), capung (odonata), dan predator spesialis Cyrtorhinus lividipennis. (Hasan, dkk., 2021)

Gulma yang selama ini terkesan sebagai tanaman pengganggu ternyata bisa dijadikan refugia. Gulma tertentu mempunyai pengaruh yang mengguntungkan bagi tanaman pokok dan bisa menjadi alternative microhabitat bagi musuh alami. Hanya saja perlu dilakukan pengelolaan yang baik, untuk menghilangkan kesan gulma yang selama ini melekat sebagai tanaman pengganggu. Ada beberapa jenis hama yang sangat suka hidup pada gulma. Hama jenis ini akan lebih senang hinggap digulma tersebut dibandingkan hinggap pada tanaman pangan dan hortikultura, tetapi apabila gulma ini tidak ada maka yang akan diserang adalah tanaman pokoknya. Adapun cara membuat refugia gulma adalah dengan memilih gulma dari jenis gulma yang berbunga seperti asteraceae kemudian gulma ini ditata dalam jalur khusus. Jenis gulma berbunga ini akan menarik serangga musuh alami. Pengaruh gulma pada tanaman tidak pokok tidak terlalu berarti, bahkan meningkatkan stabilitas ekologi pertanian. Selain gulma, tumbuhan liar yang berbunga di sekitar lahan pertanian juga berpotensi untuk dijadikan refugia, bisa menjadi habitat alternatif untuk serangga jenis predator maupun jenis parasitoid. Tumbuhan liar dapat menarik kumbang kubah, belalang sembah dan juga laba-laba. Tumbuhan liar yang berpotensi sebagai refugia adalah jenis Synedrella nodiflora, Centella asiatica, Setaria, Borreria repens, dan Arachis pentoi. Jenis gulma berdaun lebar dan rumput-rumputan seperti Chromolaena odorata, Bidens Pilosa, Echinochloa crussgall memiliki kemampuan dalam menarik predator dari famili carabidae, Tettigonidae, Coenagrionidae dan Reduviidae (Addina, dkk., 2013).

Refugia tanaman berbunga tidak semuanya dapat digunakan sebagai usaha konservasi musuh alami, terkadang mendatangkan seranga hama yang tidak kita kehendaki. Dari hasil penelitian yang paling cocok digunakan sebagai konservasi musuh alami pada tanaman padi adalah bunga kertas dan bunga jengger ayam. Tanaman kacang panjang juga ternyata sangat cocok digunakan untuk usaha konservasi musuh alami. Tanaman kacang ini bisa diambil manfaat secara langsung (kacang dan lembanyung) dan secara tidak langsung (sebagai refugia). Tanaman bunga kertas (Zinnia) banyak dikunjungi serangga dari beberapa jenis ada kupu-kupu, semut, kumbang, laba-laba dan lebah. Hal ini dikarenakan bunga kertas (Zinnia) selalu mekar dan bunganya beraneka warna. Bunga kertas (Zinnia) sangat potensial digunakan sebagai refugia pada lahan tanaman padi karena dapat mengundang banyak musuh alami. Tanaman berbunga yang berasal dari tempat local (tanaman asli) perlu untuk di eksplorasi lebih jauh peranan masing-masing. Serangga berguna termasuk musuh alami pada umumnya memakan polen dan nectar sebagai sumber makanan tambahan, maka tanaman berbunga liar asli daerah (native) menjadi kunci untuk konservasi musuh alami.

Dampak penerapan PHT dengan Rekayasa Agroekosistem

Adanya keanekaragaman tanaman di sekitar tanaman padi khususnya seperti tanaman refugia mampu meingkatkan populasi dan peran musuh alami untuk mengatur populasi hama agar tetap dibawah ambang ekonomi (Cloyd, 2020). Hal ini berbanding lurus dengan keberadaan populasi hama yang ada di pertanaman padi. Adanya peningkatan musuh alami mampu menurunkan populasi hama yang ada. Hasil penelitian Gurr dkk (2016) menunjukkan bahwa perlakuan rekayasa ekologi memapu meingkatkan pengendalian hayati dilapangan sebesar 45% dan populasi hama menurun 30%. Selain itu hasil penelitian Zhu (2022) di Tiongkok menyatakan bahwa penerapan rekayasa agroekosistem dengan penanaman tanaman kaya nektar seperti wijen (Sesamum indicum), tidak melakukan penyemprotan insektisida selama 30 hari pertama setelah tanam, dan mengurangi lebih dari 20% pupuk nitrogen dibandingkan penggunaan pupuk konvensional mampu mengurangi penggunaan pestisida kimia sebesar 60–80%, mmenurunkan populasi hama sampai dengan 30%, dan secara bertahap memulihkan fungsi pengendalian hama alami pada ekosistem. Penanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) di pematang sawah sebelum padi ditanam. Akar wangi mampu memikat penggerek batang bergaris (Chilo suppressalis) betina untuk meletakkan telurnya di atas daun akar wangi, tapi larva yang menetas tidak akan mampu bertahan hidup (Lu et al., 2019). Dengan teknik tersebut, diperkirakan 270.000 ha sawah di 15 provinsi di Tiongkok yang menggunakan akar wangi sebagai tanaman refugia mampu mengurangi aplikasi insektisida untuk penggerek batang padi sampai 30%.

Dengan adanya tanaman refugia memacu keberadaan arhtropoda predator serta mangsa alternatif (mikroarthropoda tanah) datang lebih awal dibandingkan serangga hama. Hal ini memberikan peluang bagi arhropoda predator untuk berperan sebagai pengendali hayati untuk menekan populasi hama. Apabila di lapang tidak dijumpai serangga hama maka predator akan memangsa serangga netral seperti mikroarthropoda tanah (Mudjiono, 2013).

Uji lapangan secara multinasional dan berbagai musim tanam telah dilakukan di Tiongkok, Thailand dan Vietnam menunjukkan bahwa padi sawah yang dikelilingi dengan bunga-bungaan mampu mengurangi aplikasi pestisida (70%), serta meningkatkan hasil (5%) dan keuntungan (7,5%) (Widhayasa, dkk., 2023).  (sts_proteksi)

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top