Sebagai negara agraris padi merupakan komoditas utama bagi Indonesia. Demikian juga penduduknya yang menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya. Meskipun demikian luas areal persawahan di Indonesia semakin berkurang selama beberapa tahun terakhir karena digunakan sebagai pemukiman, industri, infrastruktur ataupun untuk penggunaan lainnya.
Luas areal persawahan yang semakin berkurang ini semakin diperparah dengan banyaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi. Dari beberapa macam hama dan penyakit itu, tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan salah satu hama utama penyebab kerusakan padi di Indonesia. Hama tikus dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari persemaian sampai panen, bahkan sampai penyimpanan. Hama tikus sangat sulit dikendalikan karena tikus memiliki daya adaptasi yang cepat, mobilitas yang tinggi, dan kemampuan untuk berkembang biak yang sangat banyak.
Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya untuk menekan tingkat populasi tikus menjadi serendah mungkin melalui berbagai macam metode dan teknologi pengendalian, sehingga secara ekonomi keberadaan tikus di lahan pertanian tidak merugikan secara nyata. Menjaga populasi tikus sawah agar selalu berada pada tingkat populasi yang rendah adalah penting.
Beberapa cara pengendalian yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tikus diantaranya adalah : penanaman secara serentak, gropyokan, sanitasi lingkungan, pemanfaatan musuh alami tikus yang ada di alam, dan penggunaan pestisida kimiawi (rodentisida) sebagai pilihan terakhir. Selain itu kerap ditemukan penggunaan setrum di areal persawahan. Hal ini sebenarnya merupakan tindakan yang dilarang karena dapat membahayakan bagi manusia maupun hewan ternak.
Berangkat dari permasalahan tersebut mendorong Achmad Soche seorang Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dari Kabupaten Gresik untuk menciptakan metode pengendalian tikus dengan nama Ferinsa Plus. Ferinsa Plus ini berbahan dasar dari fermentasi urin sapi yang dicampur dengan berbagai macam rempah-rempah seperti lengkuas, jahe, kencur dan beberapa bahan lainnya.
Cara pembuatannya sederhana. Blender semua bahan rempah-rempah sampai halus kemudian dimasukkan ke dalam jerigen dan dicampurkan dengan urin sapi. Semua bahan yang telah tercampur di dalam jerigen tersebut dipasangi aerator untuk kemudian difermentasi selama 21 hari.
Pengaplikasi Ferinsa Plus cukup sederhana yaitu dengan cara Ferinsa Plus cukup dimasukkan ke dalam sprayer dengan takaran 25 cc / 1 liter air bersih dan dilakukan penyemprotan ke areal persawahan. Aplikasikan pada seluruh bagian tanaman, terutama pada tempat yang diduga sebagai jalan dan atau sarang tikus, waktu aplikasi, pagi atau sore dengan interval sebanyak 4-5x dalam satu masa tanam. Hasilnya pun luar biasa, tanaman padi menjadi lebih hijau dan subur. Serta yang paling penting adalah menurunnya tingkat serangan hama tikus di areal persawahan tersebut. Kini penggunaan Ferinsa Plus telah menyebar ke berbagai daerah seperti Mojokerto, Sidoarjo bahkan sampai ke luar pulau Jawa.
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur, Ir. Irita Rahayu Aryati, MMA, mengaku bangga dan mengapresiasi temuan tersebut. “Sangat bangga atas temuan inovatif POPT kami, Bapak Achmad Soche berupa fermentasi urin sapi yang digunakan sebagai bahan pengendali OPT tikus,” ujarnya.
Menurutnya, pengembangan pestisida biologi merupakan bagian dari peran strategis POPT yaitu sebagai ujung tombak dalam perlindungan tanaman, baik tanaman pangan maupun hortikultura. “Peran POPT sangatlah vital dalam mendampingi petani dalam pengamanan produksi pangan, terutama dari potensi kehilangan hasil akibat serangan OPT,” tambahnya.